Sabtu, 28 Maret 2015

DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF SOSIAL MEDIA
Di era globalisasi sekarang ini banyak sekali bermunculan social media. Bukan hanya orang dewasa saja yang menggunakan social media, bahkan pelajar sekolah dan anak-anak yang belum cukup umur juga sudah akrab dengan social media yang sekarang sedang berkembang. Berawal dari Friendster, kemudian Facebook, Twitter, Skype, Foursquare, Line, What’s App, Path, Instagram, dan masih banyak lainnya. Banyak dampak yang dapat ditimbulkan dari pemakaian social media, berikut ini merupakan dampak positif dan negatif sosial media : Dampak positif : Untuk menghimpun keluarga famili, saudara, kerabat yang tersebar, dengan jejaring sosial ini sangat bermanfaat dan berperan untuk mempertemukan kembali keluarga atau kerabat yang jauh dan sudah lama tidak bertemu, kemudian lewat dunia maya hal itu bisa dilakukan. Sebagai media penyebaran informasi. Informasi yang up to date sangat mudah menyebar melalui situs jejaring sosial. Hanya dalam tempo beberapa menit setelah kejadian, kita telah bisa menikmati informasi tersebut. Memperluas jaringan pertemanan. Dengan menggunakan jejaring sosial, kita bisa berkomunikasi dengan siapa saja, bahkan dengan orang yang belum kita kenal sekalipun dari berbagai penjuru dunia. Situs jejaring social membuat anak dan remaja menjadi lebih bersahabat, perhatian, dan empati. Sebagai sarana untuk mengembangkan keterampilan dan social. Mereka akan belajar bagaimana cara beradaptasi,bersosialisai dengan public dan mengelola jaringan pertemanan. Internet sebagai media komunikasi, dimana setiap pengguna internet dapat berkomunikasi dengan pengguna lainnya dari seluruh dunia. Media pertukaran data. Dengan menggunakan jaringan situs-situs web para pengguna internet di seluruh dunia dapat saling bertukar informasi dengan cepat dan murah. Sebagai media promosi dalam bisnis. Hal ini memungkinkan para pengusaha kecil dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar. Dampak negatif : Susah bersosialisasi dengan orang sekitar. Hal ini disebabkan karena pengguna social media menjadi malas belajar berkomunikasi secara nyata. Situs social media akan membuat seseorang lebih mementingkan diri sendiri. Mereka menjadi tidak sadar akan lingkungan sekitar mereka, karena kebanyakan menghabiskan waktu di internet. Tertinggal dan terlupakannya bahasa formal. Karena pengguna social media lebih sering menggunakan bahasa informal dalam kesehariannya, sehingga aturan bahasa formal mereka menjadi terlupakan. Mengurangi kinerja. Karyawan perusahaan, pelajar, mahasiswa yang bermain media sosial pada saat sedang mengerjakan pekerjaannya akan mengurangi waktu kerja dan waktu belajar mereka. Berkurangnya privasi pribadi. Dalam sosial media kita bebas menuliskan dan men-share apa saja, Sering kali tanpa sadar kita mempublish hal yang seharusnya tidak perlu disampaikan ke lingkup sosial. Kejahatan dunia maya. Kejahatan dikenal dengan nama cyber crime. Kejahatan dunia maya sangatlah beragam. Diantaranya : carding, hacking, cracking, phising, dan spamming. Pornografi. Dengan kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki internet, pornografi pun merajalela. Di internet terdapat gambar-gambar pornografi dan kekerasan yang bisa mengakibatkan dorongan kepada seseorang untuk bertindak kriminal. Source: Sumber : http://media.kompasiana.com/new-media/2011/08/07/dampak-positif-dan-negatif-jejaring-sosial-386184.html http://masjumadi.blogdetik.com/2013/09/06/dampak-positif-dan-negatif-sosial-media.html

ADAT KELAHIRAN SUKU BATAK
Mangirdak : dalam suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga Pardede menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak (membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan dalam memberikan semangat. Pemberian Ulos Tondi : ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran. Mengharoani : sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu. Martutu Aek : pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke pancur dan dimandikan dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang dikenal dengan pesta Martutu Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu Ulu Punguan. Hal ini telah ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi waktu matahari terbit kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi bersama-sama dengan rombongan para kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan kain ulos. Kemudian sibaso menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh si anak, yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba. Melalui ritus ini, keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara martutu aek biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada zaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah symbol pusat kehidupan dan keramaian sekaligus symbol kedamaian. Orangtua si bayi akan membawa bayi ke tempat itu dan sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Pada acara marhata sesudah makan, maka diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak pertama maka sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal kerja . Namun pada saat pemberian nama pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar karena keluarga meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan mengganti nama itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan kekuatan kepada tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-persembahan kepada dewi air Boru saniang naga sehingga si anak kelak mempunyai daya tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit. Mengallang Esek-esek : keluarga yang mendapat anak ini akan mempunyai kebahagiaan yang luar biasa dimana untuk menunjukkan kebahgiaan itu, pihak keluarga akan memotong ayam dan memasak nasi kemudian memanggil para tetangga sekaligus kerabat walaupun tengah malam ataupun dini hari untuk diundang makan atau syukuran (hal ini dibantu dengan tidakan demonstrative ayah si anak dengan membelah kayu pada saat kelahiran dimana warga kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian ibu-ibu sekampung pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga bagian dari Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan). Kalau didaerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini biasanya hanya bersifat apa adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur labu siam dan ikan asin pun jadi karena mangharoani ini sebagai ungkapan sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas kehidupan baru. Sementara itu selama tiga malam, para bapak bergadang atau ”melek-lekkan” sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi dan ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah melahirkan tubuh si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah. Makna spiritualitas yang terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap warga yang sekampung dengan si anak yang baru lahir itu sehingga warga kampung tahu ada kebahagiaan dalam suatu keluarga. Source : http://partukko.blogspot.com/

Tradisi “Pesta” dalam Upacara Kematian Suku Batak
Kematian. Satu kata yang identik dengan kesedihan dan air mata, serta biasanya dihindari manusia untuk diperbincangkan. Namun, sebenarnya itulah yang ditunggu-tunggu manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi. Kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup hingga masa kini (Sumardjo,2002:107). Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau lambat akan menjemput kehidupan dari masing-masing manusia. Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua. Pada masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah unik dan sangat khas. Ya, adat budaya kematian suku Batak memang beda dari kebanyakan suku yang ada di Indonesia. Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang meninggal. Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati: 1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate punu), 2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), 3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon), 4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan 5. Telah bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua). Pada masa megalitik, kematian seseorang pada usia tua yang telah memiliki keturunan, akan mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang disembah. Hal itu terindikasi dari banyaknya temuan kubur-kubur megalitik dengan patung-patung leluhur sebagai objek pemujaan (Soejono,1984:24). Mate Saur matua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi masyarakat Batak (terkhusus Batak Toba), karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi). Dalam kondisi seperti inilah, masyarakat Batak mengadakan pesta untuk orang yang meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal tersebut memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan dan ini disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada, tapi mengingat meninggalnya memang dikarenakan proses alami (sudah tua) maka kesedihan tidak akan berlarut-larut. Ibaratnya, orang yang meninggal dalam status saur matua, hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/LUNAS. Dalam masyarakat Batak, hutang orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang seseorang itu LUNAS, maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega. Masyarakat Batak biasanya mengadakan acara seperti acara pernikahan, dengan menampilkan alat musik berupa organ untuk bernyanyi, makan makan seperti menyembelih hewan, minum minuman tradisional seperti tuak. Alat musik organ digunakan di daerah perantauan umumnya, namun di daerah aslinya, Sumatera Utara, gondang sebagai alat musik khas Bataklah yang digunakan. Ini semata-mata karena alat musik gondag yang sulit ditemukan di daerah perantauan. Untuk peyembelihan hewan, juga ada kekhasannya. Masyarakat Batak secara tersirat seperti punya simbol tentang hewan yang disembelih pada upacara adat orang yang meninggal dalam status saur matua ini. Biasanya, kerbau atau sapi akan disembelih oleh keluarga Batak (terkhusus Batak Toba) yang anak-anak dari yang meninggal terbilang sukses hidupnya (orang mampu). Namun, jika kerbau yang disembelih, maka anggapan orang terhadap keluarga yang ditinggalkan akan lebih positif, yang berarti anak-anak yang ditinggalkan sudah sangat sukses di perantauan sana. Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah). Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara). Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara, dsb. Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula (saudara laki-laki dari pihak isteri) telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat Batak merantau, sering terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan), demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur matua sebelum dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti masyarakat non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah duka). Jenazah yang telah dimasukkan ke dalam peti mati diletakkan di tengah-tengah seluruh anak dan cucu, dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Di sebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan di sebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Di sinilah dimulai rangkaian upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Jamuan makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh para parhobas (orang-orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis berupa : juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara) (Marbun&Hutapea,1987:66–67). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Namun bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada. Selepas ritus pembagian jambar juhut, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang meninggal saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula, dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor (menarikan tarian tor-tor). Tor-tor adalah tarian tradisional khas Batak. Tarian tor-tor biasanya diiringi musik dari gondang sabangunan (alat musik tradisional khas Batak). Gondang sabangunan adalah orkes musik tradisional Batak, terdiri dari seperangkat instrumen yakni : 4 ogung, 1 hesek , 5 taganing, 1 odap, 1 gondang, 1 sarune. Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu. Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat). Ibadah bisa dilakukan di tempat itu juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi perkuburan. Hal ini menyesuaikan kondisi, namun prinsipnya sama saja. Maka sebelum peti dimasukkan ke dalam lobang tanah (yang sudah digali sebelumnya), ibadah singkat dilaksanakan (berdoa), barulah jenazah yang sudah di dalam peti yang tertutup dikuburkan. Sepulang dari pekuburan, dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula. Ini adalah bagian dari ritual kematian adat Batak, khususnya Batak Toba. Memang unik, tetapi itu nyata dan saya melihat serta pernah mengikuti prosesi ini sendiri. Kematian yang seharusnya dengan air mata akan penuh dengan canda tawa dan riuhnya pesta pakai musik, layaknya pesta pernikahan, hanya jika mendiang meninggal dalam status SAUR MATUA tadi. Ya, ini memang adatnya, kita tidak mungkin menolak ataupun menentangnya. Tetapi saya bangga memiliki budaya seperti ini, penuh kekhasan yang tidak ada di negara lain di dunia ini.